Senin, 09 Januari 2012

Saatnya Krama Membendung HIV

Peringatan hari AIDS sedunia pada 1 Desember menjadi momentum yang tepat untuk merenungi ulang upaya kita memerangi virus ini. Berbagai upaya dan gerakan sudah dilakukan. Tetapi kasus HIV dan AIDS terus meningkat tajam. Padahal fenomena yang diketahui hanyalah gunung es dari fakta yang lebih mengerikan. Data pada 2004, angka menunjukkan, kasus HIV dan AIDS di Bali berjumlah 590 kasus, tahun 2006 tercatat 1253 kasus, Maret 2010 tercatat 3390 kasus, maka sampai Juli 2011 telah menjadi 4,631, terdiri dari 2,277 AIDS dan 2,354 HIV.

Mengapa hal itu bisa terjadi ? Kabut moralitas agaknya masih menjadi selimut yang menghalangi pandangan kita terhadap upaya pencegahan HIV. Terutama untuk menangani penularan yang terjadi akibat hubungan seksual beresiko. Padahal penularan melalui cara ini adalah yang tertingi mencapai 73,35 persen. Kabut itu menghalangi upaya kita untuk mendorong penggunaan kondom saat Pekerja Seks Komersial (PSK) melayani pelanggannya.

Kampanye pro kondom sering dianggap sebagai bagian dari upaya melegalisasikan pelacuran dan seks bebas. Di pihak lain promosi seks bebas secara tidak langsung sebenarnya sangat masif melalui media massa. Masyarakat pun kian permisif terhadap perilaku tersebut khususnya di kalangan anak- anak muda..

Baca majalah Bali Sruti Edisi No.4 download di: Sini

Selasa, 27 September 2011

Sekolah Mahal, Perempuan Tertinggal

Bersama dengan isu pelayanan kesehatan, pendidikan murah bagi semua orang selalu menjadi isu politik yang menarik. Sekolah gratis bahkan telah menjadi tolok ukur popularitas para pejabat politik.Tak heran bila iklan mengenai topik itu sering ditayangkan menjelang masa kampanye.

Tapi benarkah ada yang gratis?. Mungkin hanya di negeri antah berantah saja kondisi itu sungguh-sungguh terjadi. Atas dasar kesepakatan komite sekolah misalnya, sekolah-sekolah berstatus negeri, tetap saja menarik pungutan bagi para siswa. Dengan jargon sumbangan sukarela yang sulit ditolak oleh para orang tua sumbangan menjadi legal dan halal meski bertentangan dengan iklan pemerintah.

Situasi itu diperburuk oleh kecenderungan oknum guru untuk menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis. Pernyataan bahwa buku paket sudah disediakan oleh pihak sekolah misalnya, tidak berarti para siswa tidak “wajib” membeli buku. Sebab, selain buku yang disediakan oleh sekolah, para guru pun menggunakan buku lain dalam memberikan pelajaran yang diam-diam membuat para siswa merasa harus membeli buku tersebut.

Carut marut dunia pendidikan itu membuat kesenjangan kesempatan dan kualitas pendidikan menjadi kian terasa. Meski angka-angka putus sekolah selalu diklaim cenderung menurun, namun diperlukan penelisikan lebih jauh mengenai fakta tersebut.

Terutama pada sisi kualitas para siswanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebocoran soal ujian dan EBTANAS selalu mewarnai perjalanan para siswa menempuh jenjang pendidikan. Bagi para perempuan, situasinya menjadi lebih buruk lagi.

Karena mahalnya biaya pendidikan di tengah situasi diskriminasi gender yang masih mereka alami, membuat kesempatan menempuh pendidikan menjadi lebih berat. Bila beban ekonomi menjadi lebih berat, maka perempuanlah yang diminta berkorban untuk tidak melanjutkan sekolah. Konsekuensinya, perempuan menjadi lebih tertinggal daripada kaum laki-laki di berbagai bidang.

Pada edisi ke 3 majalah ini, kami menyajikan ulasan mengenai masalah-masalah tersebut dilengkapi dengan liputan khusus mengenai pendidikan alternatif. Ada juga serangkaian opini yang menyajikan analisa dan solusi yang tersedia untuk memecahkan masalah tersebut. Tentu saja disertai harapan akan menjadi pemicu diskusi yang lebih serius.

Untuk dowload full majalah ini klik : disini

Selamat membaca.

Rabu, 17 Agustus 2011

Gara-gara hamil, dipecat dari Staf Ahli Anggota DPR

Baru saja ada kabar yang cukup menyakitkan dari seorang rekan yang temennya baru saja dipecat dari posisinya sebagai Staf Ahli Anggota DPR RI dengan alasan yang bersangkutan sedang hamil tua (7 bulan, 2 minggu) karena dipandang oleh anggota dewan tersebut akan tidak produktif dan mengganggu pekerjaan.

Payahnya lagi, peraturan Setjen DPR tidak sama sekali mengatur tentang hak-hak pekerja di lingkungan internal DPR tersebut . kok bisa ya aturan setjen tidak mengacu ke UU Tenaga Kerja yang baru?? Bukankah merekalah yang seharusnya menjadi contoh bagi penegakan hukum?

Memang rekrutmen staf ahli anggota biasanya dilakukan oleh partai atau anggota dewan ybs, namun tentu bukan berarti boleh seenaknya memperlakukan pekerja apalagi dengan alasan yang sungguh tidak manusiawi dan melecehkan kodrat perempuan. Yang seharusnya membuat kita bertambah shock bahwa ternyata anggota Dewan tersebut adalah juga seorang perempuan dari PDI-Perjuangan (Dapil Lampung II).

Ini adalah preseden buruk karena hal ini menjadi sinyal bahwa tidak selamanya anggota dewan perempuan mempunyai gender manstreaming dalam tingkah lakunya, apalagi dalam pembahasan kebijakan di DPR. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah kita semua, bahwa upaya kita untuk memperkuat peran perempuan di parlemen tidak selesai begitu saja dengan bertambahnya prosentase perempuan di parlemen.

Hal yang juga sama pentingnya adalah mendorong kebijakan yang pro-gender, sehingga perempuan tidak lagi mengalami diskriminasi dimanapun mereka berada. (aw)

Senin, 30 Mei 2011

Mengimplementasikan MDGs dalam Fungsi Anggota Dewan

Tujuan Pembangunan Milinium atau MDGs (Millenium Development Goals) akan berakhir di tahun 2015. Sementara jika dilihat dari masa bhakti anggota dewan yang akan berakhir tahun 2014, maka peluang untuk mengintergrasikan MDGs dalam fungsi anggota parlemen yakni: legislasi, pengawasan dan penganggaran, hanya tinggal 3 tahun lagi.

Meski demikian masih banyak masalah yang belum rampung terjawab. Posisi MDGs Indonesia misalnya yang masih perlu kerja keras antara lain meliputi: Kemiskinan, Malnutrisi anak, Kontribusi perempuan dalam kerja upahan, Tingkat kematian ibu, Prevelensi HIV/AIDS dan Akses terhadap air minum.

Dalam kaitan itu maka Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPRI) bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (ANSIPOL) dan Kemitraan (Partnership) menyelenggarakan acara diskusi publik dan peluncuran buku yang berjudul “Memberantas Kemiskinan Dari Parlemen: Manual bagi anggota Parlemen di Pusat dan Daerah”, (25/5) yang bertempat di Ruang Pers II, Gedung DPR RI.

Sebelumnya Manual MDGs tersebut juga sudah diluncurkan dan didiskusikan di berbagai daerah di tanah air antara lain: Manado, Bali, Bandung, Surabaya dan Semarang. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi di Jakarta adalah: Diah Saminarsih yang merupakan wakil dari Ibu Nila F. Moeloek yang merupakan untusan langsung Presiden Republik Indonesia untuk MDGs, Ibu Ida dari Panja MDGs DPR RI, Bapak Firdaus dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pencapaian MDGs, Deputy SEN ASPPUK dan penulis buku tersebut Adriana Venny, dengan moderator Ibu Yuda Irlang sebagai coordinator ANSIPOL.

Kegiatan dibuka oleh Bapak Wicaksono Sarosa, Direktur Eskekutif Kemitraan dan Ibu Andi Timo Pangerang, Ketua KPPRI. Hadir pula dalam kegiatan tersebut beberapa anggota DPR RI dan DPD RI. Dengan kegiatan tersebut  diharapkan dapat menjadi wahana sosialisasi akan pentingnya untuk segera mengintergrasikan MDGs secara lebih serius dalam kerja-kerja anggota dewan di tingkat pusat. Juga untuk mengali informasi sejauh mana capaian MDGs dari perspektif anggota dewan, pemerintah dan dari perspektif masyarakat sipil.

Beberapa hal yang perlu menjadi catatan adalah pentingnya untuk membuat perencanaan dan target capaian yang jelas dalam pengentasan kemiskinan dan target MDGs melalui legislasi, pengawasan dan penganggaran. Kiat lain yang dibutuhkan anggota dewan dalam mengintergrasikan MDGs adalah dengan berjejaring dan menggali masukan dari KPPRI di tingkat lokal, aktivis LSM, akademisi, media, dll. Perlu juga untuk dibentuk semacam komite MDGs yang mewakili berbagai elemen masyarakatr guna memonitor pelaksanaan MDGs. Sementara Panja/Kaukus MDGs yang sudah ada, perlu lebih disosialisasikan. Kesimpulannya, MDGs diharapkan tidak menjadi beban bagi legislator Indonesia, melainkan menjadi peluang untuk menjadi agent of change dalam upaya memberantas kemiskinan dan target-target MDGs lainnya.****(JK)

Ditulis oleh: Kalyanamitra

Rabu, 13 April 2011

Masalah Mendasar di Balik Tujuan Pembangunan Milenium

INDONESIA, salah satu dari 189 negara anggota PBB yang menyepakati Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) atau Millennium Development Goals (MDGs). Ditengarai, dalam mengimplementasikan TPM tersebut di Indonesia masih terdapat tantangan. “Masih sulit dicapai,” demikian benang merah yang terekam dalam Diskusi Publik Mengentaskan Kemiskinan Dalam Rangka Percepatan Pencapaian MDGs yang diselenggarakan LSM Bali Sruti bersama para mitra kerjanya, di RRI Denpasar, Rabu (23/3).


Tampil sebagai pembicara pertama,  anggota DPR Dra. Eva Kusuma Sundari, M.A., MDE, Kabid Pemberdayaan Sosial Dinas Sosial Bali Drs. I Nyoman Wenten, dan Agung Wasono dari Kemitraan, Andriana Venny penulis buku Memberantas Kemiskinan dari Parlemen. Delapan butir TPM yang tertuang dalam resolusi Majelis Umum PBB tahun 2000 itu, meliputi 1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem; 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4. Menurunkan angka kematian anak; 5. Meningkatkan kesehatan ibu; 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; 7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup, 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Mengapa di Indonesia TPM sulit dicapai? Terungkap dalam diskusi, APBN maupun APBD belum mendukung sasaran TPM secara terarah. Volume APBN 2011 naik 400% dibandingkan tahun 2004, ujar Eva Kusuma Sundari, tetapi untuk apa saja kenaikan anggaran itu? Kenyataannya kita masih menghadapi masalah pokok yang membelit rakyat banyak misalnya di sektor pendidikan dan kesehatan, selain kemiskinan. Persoalannya bukannya teratasi, malah ada yang bertambah parah. Kalau toh secara kuantitatif dilaporkan mulai teratasi, keberhasilan itu tidak sebanding dengan besarnya anggaran yang dikucurkan untuk itu. “Persoalannya, APBN belum memihak kepentingan rakyat banyak dan kurang terintegrasi dalam implementasinya,” ujar Eva.

Apa peran DPR sebelum menetapkan RAPBN itu menjadi undang-undang? Anggota Komisi III DPR itu mengungkapkan, dalam kenyataannya DPR memiliki waktu terbatas dalam mengkaji RAPBN yang disodorkan pemerintah sampai saat pengesahannya. Akibatnya, wajah APBN tergantung pada politik anggaran yang dimiliki eksekutif. “Parlemen belum mampu mengubah politik anggaran eksekutif yang belum memihak kepentingan rakyat banyak itu,” katanya.

Hal itu juga terjadi di daerah-daerah. Ada daerah yang mampu menekan angka kematian ibu dan anak secara signifikan. Ada kepala daerah yang “berani” membuat kebijakan agar dokter spesialis tersebar sampai ke pelosok di daerahnya. Ada daerah yang mampu mengarahkan penggunaan anggarannya sehingga pemeriksaan dan pengobatan di puskesmas benar-benar gratis. Menurut Eva, Kabupaten Bantul, misalnya, “berani” menganggarkan Rp 17 miliar untuk pos kesehatan dengan arah penggunaannya masuk akal, efektif, dan produktif. Setelah ditelusuri, keberanian-keberanian semacam itu muncul tergantung kepemimpinan kepala daerahnya. Juga, tergantung visi dan misi kepala daerah dalam mengarahkan APBD-nya untuk memihak kepentingan rakyat banyak dalam bingkai politik anggaran yang efisien, efektif, dan produktif.

Logikanya, TPM  tidak bakal tercapai jika tidak didukung politik anggaran yang memihak kepentingan rakyat banyak dan kepemimpinan kepala pemerintahan yang kreatif dan inovatif. Inilah sebagian masalah bangsa Indonesia sekarang ini. Sayang, kedua masalah sumber daya manusia yang bergelayut dalam diri kepala pemeritahan itu tidak termasuk dalam 8 butir TPM.
Logikanya pula, jika diinginkan TPM tercapai, harus ada upaya mengkaji ulang, misalnya tentang sistem pemilihan kepala pemerintahan, agar lahir kepala pemerintahan yang lebih dijamin kualitas kepemimpinannya dan memiliki politik anggaran yang memihak kepentingan rakyat banyak dan mendukung TPM.

Pihak DPR dan DPRD pun jangan berkilah berada dalam posisi tiada waktu yang cukup untuk mengkaji RAPBN dan RAPBD. DPR maupun DPRD harus sejak jauh hari juga memiliki konsep tentang politik anggaran yang memihak kepentingan rakyat banyak dan yang terarah penggunaannya; tidak baru mencari-carinya setelah RAPBD dan RAPBN disodorkan pemerintah eksekutif di meja kerjanya.

Tetapkan mekanisme agar sejak dalam proses penyusunan konsep RAPBN dan RAPBD di tangan eksekutif, pemikiran DPR dan DPRD itu turut mewarnai dasar pertimbangan pihak eksekutif. Kelemahan politik anggaran eksekutif harus dipatahkan dan diimbangi politik anggaran legislatif yang benar-benar mendahulukan kepentingan rakyat banyak. Jangan sampai terjadi sebagaimana judul kumpulan tulisan Glan Iswara, “kong kali kong”.

Ada masalah mendasar lain bangsa ini yang kurang diperhitungkan dalam mengimplementasikan 8 butir TPM, yakni masalah kependudukan. Masalah ini pun tidak masuk dalam butir TPM.

Kita memahami, 8 butir TPM merupakan kristalisasi permasalahan seluruh negara yang menyepakati TPM. Namun, perlu disadari tiap negara tetap memiliki masalah mendasar yang spesifik. Banyak negara yang menempatkan  masalah kependudukan bukan masalah mendasar bangsanya saat ini. Walaupun sumber daya alamnya tidak sekaya Indonesia, tetapi bisa memakmurkan kehidupan rakyatnya, karena masalah kependudukan, kuantitatif maupun kualitatif,  tidak menjadi persoalan besar lagi.

Di Indonesia, masalah pendidikan, kesehatan, kemiskinan, tak bakal teratasi secara tuntas, pencapaian TPM pun akan berjalan tambal-sulam,  jika masalah kependudukan tidak diatasi lebih serius secara nasional. Solusinya, ada komitmen tinggi dalam diri kepala pemerintahan di pusat dalam menanggulangi masalah kependudukan secara konseptual, bertahap dan berkesinambungan. Jika perlu, tambah kementerian kependudukan di kabinet, bukan hanya lembaga BKKBN. Masalah kependudukan, kuantitatif maupun kualitatif, bukan hanya masalah yang terkait keluarga berencana.

Seorang teman yang suka mistik mengatakan, di Indonesia ada penyebab lain mengapa masalah kemiskinan tidak segera teratasi. Sebab, yang dientaskan ’kemiskinan’. Hasilnya, kemiskinan di suatu daerah diatasi, tetapi berpindah ke daerah lain. Ini sesuai dengan makna kata mengentas, ’mengangkat dari suatu tempat ke tempat lain’. Mengapa yang dientaskan bukan ’rakyat miskin’, pengentasan rakyat dari kubang kemiskinan, dalam pengertian ’memperbaiki/menjadikan, mengangkat nasib atau keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik’?

Sumber : Koran Tokoh

Senin, 14 Maret 2011

Hari Perempuan se-Dunia, KDRT dan Trafficking Masih Tinggi

Narasumber, Agung Wasono (Kemitraan), Andi Timo Pangerang (DPR RI), Adriana Venny (Penulis Buku), Pemandu Acara Suhendro Boroma (Foto Beritamanado)
MANADO – Memperingati Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2011, Swara Parangpuan Sulut bekerjasama dengan Kemitraan Bagi Tata Pembaharuan Pemerintah (Partnership), melaksanakan seminar Bedah Buku yang berjudul, “Memberantas Kemiskinan dari Parlemen” (Manual MDGs untuk Anggota Parlemen di Pusat dan Daerah).

Seminar dilaksanakan di ruangan paripurna DPRD Sulut, dengan nara sumber Adriana Venny sebagai penulis buku, Andi Maitimu, Ketua Kaukus Perempuan DPR-RI dan Agung Wasono dari pihak kemitraan. Acara dipandu Suhendro Boroma, dan dihadiri anggota DPRD perempuan se-Sulut serta utusan organisasi perempuan.

Berbagai persoalan terangkat terkait persoalan perempuan seperti kekerasan rumah-tangga dan perdagangan perempuan seperti yang disuarakan salah-satu peserta, Ibu Agnes.

“Kasus trafficking di Sulut salah-satu tertinggi di Indonesia. Penyebabnya adalah masalah ekonomi dan kurang pengetahuan serta moral,” ujar Ibu Agnes.

Penyebab lain menurut Ibu Agnes, peran legislator perempuan di parlemen yang kurang tajam menyelami masalah KDRT dan trafficking, serta lemahnya penerapan perda terkait perempuan.

Pernyataan ini dibenarkan narasumber Agung Wasono, menurutnya, human trafficking merupakan kasus yang sulit dibongkar karena dilakukan secara tersembunyi . Sementara kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya adalah kaum perempuan disebabkan kebanyakan perempuan Indonesia tidak memiliki economic freedom (kemerdekaan ekonomi).

“Jadi perempuan selalu dalam posisi sulit, di satu sisi dia (perempuan) yang menjadi korban kekerasan suami ingin melapor kepada polisi, tapi di satu sisi dirinya tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk mengurusi anak-anak jika suaminya dipenjara. Salah-satu cara mengatasi KDRT, perempuan harus memiliki kemerdekaan ekonomi melalui pekerjaan,” ujar Wasono.

Ditambahkan Andi dari Kaukus Perempuan DPR-RI, untuk mengatasi kejahatan perdagangan perempuan, perlu keseriusan pemerintah dalam hal alokasi anggaran bagi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang ada di setiap daerah.

“Teman-teman di DPRD bisa mendorong pengalokasian anggaran yang memadai bagi organisasi atau badan perberdayaan perempuan,” tukas anggota Komisi XI DPR-RI ini. (jry)

http://beritamanado.com/2011/03/08/seminar-bedah-buku/

Minggu, 13 Maret 2011

Majalah Bali Sruti Terbit (Lagi)

Majalah Bali Sruti yang merupakan suara nurani perempuan, terbit bulan Januari 2006. Seiring perjalanan waktu, majalah yang dibidani para pegiat LSM Bali Sruti, tidak mampu lagi terbit karena permasalahan klasik, masalah dana. Namun  permasalahan perempuan tidaklah pernah berhenti, semakin hari permasalahan perempuan semakin terkuak. Pemberdayaan perempuan terus dilakukan para pegiat melalui berbagai cara. Ide-ide pemberdayaan melalui media massa seperti media elektronik dan media cetakpun terus dikuatkan.

Di Penghujung tahun 2010 Bali Sruti bekerja sama dengan Kemitraan untuk memperkuat Kepemimpinan Perempuan dalam rangka pencapaian Milenium Development Goals (MDGs). Akhirnya bara api yang sempat meredup itu memerah lagi, kontak-kontak kembali terjalin dan disepakati untuk menerbitkan kembali majalah ”Bali Sruti”.

Hanya formatnya berubah, ukuran majalah diperkecil, direncanakan terbit per triwulan dengan tema setiap edisi akan menyangkut persoalan-persoalan MDGs di Bali. MDGs merupakan penjabaran resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 55/2 ”Milenium Declaration” yang disepakati 8 September tahun 2000 oleh para pemimpin dunia dari 189 negara, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid dari Indonesia. Fokus utama dalam MDGs adalah pembangunan manusia, target MDGs adalah menurunkan besaran angka kemiskinan hingga setengahnya pada tahun 2015.

Silahkan download majalah ini di: Sini